Kamis, 28 Januari 2016

SEKH WASIL




SEKH WASIL
Ada dua sumber yang dapat digunakan untuk menelusuri siapa
Syekh Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Syekh Wasil alis Mbah Wasil.
Syekh Wasil alias Mbah Wasil, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli dimungkinkan adalah seorang ulama besar dari Persia (Ngerum) yang datang ke Kediri untuk membahas kitab musyarar atas undangan dari Raja Jayabaya. Tokoh inilah yang kemudian berupaya menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Kediri. Sebagai seorang ulama besar atau tokoh penting yang berjasa mengembangkan Islam di Kediri maka wajar jika setelah meninggal beliau mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Kompleks bangunan makam Setono Gedong merupakan salah satu wujud penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam di Kediri.
Berkaitan dengan pendapat di atas, terdapat beberapa kelemahan, pertama kedatangan Maulana Ali Syamsuddin di Kediri pada masa pemerintahan raja Jayabaya, yaitu pada abad XII M. Pada masa ini kebudayaan Hindu-Budha khususnya di Kediri sedang mencapai puncak kejayaan sehingga mustahil jika Islam sudah mendapatkan tempat, baik secara cultural maupun secara politis di masyarakat Kediri pada waktu itu. Kedua, kemiripan nama antara Maulana Ali Syamsuddin dengan Sulaiman Al-Wasil Syamsudin belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa dua nama itu mengarah pada satu orang yang sekarang makamnya ada di kompleks bangunan makam Setono Gedong jika tidak didukung oleh data-data atau bukti yang valid. Ketiga, berdasarkan pada bukti-bukti arkeologis, khususnya berdasarkan hasil komparasi terhadap arsitektur dan ornamentasi maka lebih tepat jika kompleks makam Setono Gedong dibangun sekitar abad XVI M. Oleh karena itu penelusuran sejarah Syekh Wasil atau Mbah Wasil sebaiknya mengarah pada tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Kediri pada masa itu.
Jika pendapat itu benar, lalu siapakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu? Syekh Wasil atau Mbah Wasil adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri yang hidup sejaman dengan para Wali Songo. Tokoh ini dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, yaitu Sunan Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan Ampel. Pendapat ini didasari oleh dua indikasi, pertama adanya kesamaan arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan makam Setono Gedong dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajad di Lamongan. Kedua, Istri Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, seorang Putri Adipati Kediri yang bernama Suryo Adilogo.
Namun demikian untuk dapat memastikan apakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu adalah Adipati Suryo Adilogo, mertua dari Sunan Drajat, memang masih memerlukan kajian secara intensif dan sistematis.
II. Masjid Setono Gedong
Bekas bangunan yang terdapat di belakang masjid Setono Gedong sekarang adalah bekas bangunan masjid bukan bekas bangunan candi. Terdapat beberapa indikasi bahwa reruntuhan bangunan tersebut
merupakan bekas bangunan masjid.
Pertama, pola denah bangunan lebih mengarah pada bangunan masjid. Sebagaimana pola denah bangunan masjid kuna di Indonesia, pada bekas bangunan tersebut pola denahnya bujur sangkar, dengan tambahan serambi di depan dan satu ruangan khusus di depan yang disebut dengan mihrab. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi maka akan muncul pertanyaan apa fungsi tambahan bangunan yang terdapat di depan bangunan utama.
Kedua, bentuk pagar keliling bangunan merupakan ciri khas bangunan-bangunan masjid atau makam kuna di Indonesia. Jika diperhatikan secara cermat maka bentuk pagar keliling menyerupai bentuk pagar yang ada di makam Sendang Duwur, makam Sunan Drajat, atau makam Sunan Giri.
Ketiga, letak dan jumlah pintu masuk. Pada pagar keliling bekas bangunan masjid Setono Gedong terdapat tiga pintu masuk yaitu di bagian depan (timur), samping kanan (selatan) dan samping kiri (utara). Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, biasanya pintu masuk itu hanya satu dan harusnya berada di bagian barat.
Keempat, bahan bangunan pagar keliling yang terbuat dari batu kapur. Penggunaan batu kapur sebagai bahan pembuatan pagar keliling sebab batu kapur yang berwarna putih itu merupakan lambang kesucian dalam agama Islam. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, mengapa bahan pembuatan pagar keliling bukan batu bata atau batu andhesit yang banyak terdapat di wilayah Kediri sementara batu kapur harus didatangkan dari tempat yang jauh dari Kediri.


Rabu, 27 Januari 2016

Makam Bung Karno Blitar

MENGINGAT SEJARAH DI MAKAM BUNG KARNO

Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno, atau yang biasa dikenal sebagai Bung Karno, lahir di Blitar pada tanggal 6 Juni 1901. Beliau adalah seorang tokoh yang mendunia. Sepak terjangnya yang pemberani selalu dikenang jutaan orang hingga kini. Sayang, jika seorang tokoh besar seperti Bung Karno dilupakan oleh generasi penerus dari negeri yang telah dia proklamirkan bersama Bung Hatta, rekan seperjuangannya. Karena itulah, dengan niat untuk mengingat sejarah perjuangan Bung Karno, Sang Proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia, maka saya mengajak anak-anak saya mengunjungi makamnya di Blitar, Jawa Timur.
Bung Karno wafat pada usia 70 tahun pada tanggal 21 Juni 1970, dan dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar. Kota ini terletak di bagian selatan provinsi Jawa Timur atau sekitar 167 km sebelah selatan kota Surabaya. Makam Bung Karno terletak di Jl Slamet Riyadi, Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, sekitar 2 km sebelah utara pusat Kota Blitar. Dalam perkembangannya, bangunan makam telah banyak mengalami pemugaran sehingga tampak megah. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 3 Juni 2004 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, salah seorang putri dari Bung Karno yang waktu itu sedang menjabat sebagai Presiden RI.
Kompleks makam Bung Karno ini dilengkapi dengan sarana pendukung berupa area parkir yang sangat luas yang dilengkapi dengan pendapa untuk tempat istirahat pengunjung, arena permainan anak dan kios-kios makanan. Area parkir ini terletak sekitar 500 meter dari kompleks makam. Sayangnya tempat sampah yang tersedia di sini sangat kurang sehingga banyak pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Akibatnya kondisi area parkir dan pendapa terlihat kotor oleh sampah sisa makanan para pengunjung.
Kendaraan roda empat tidak diperkenankan masuk mendekati kompleks makam sehingga harus parkir di area parkir yang terletak sekitar 500 meter dari kompleks makam itu. Tarif parkir adalah 5000 rupiah untuk 1 mobil. Selanjutnya, untuk sampai di kompleks makam, pengunjung bisa berjalan kaki atau naik becak dengan tarif 5000 rupiah atau 10.000 rupiah untuk tarif PP. Sebenarnya tersedia trotoar bagi pejalan kaki di sepanjang jalur dari area parkir ini menuju kompleks makam, tetapi sayang trotoar tersebut dipenuhi oleh barang dagangan dari kios-kios suvenir yang berjajar di sepanjang trotoar. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan pengunjung yang memilih berjalan santai menuju kompleks makam. Saya yang memilih jalan kaki merasakan sekali gangguan itu, sehingga akhirnya kemudian saya memilih naik becak sekembalinya dari kompleks makam ke area parkir, selain juga karena panas terik matahari yang menyengat di siang hari itu.
Sebelum memasuki area makam, pengunjung dapat melihat-lihat musium yang menyimpan koleksi barang-barang peninggalan Bung Karno, seperti keris, baju kebesaran, lukisan Bung Karno, dll. Setelah bangunan musium, terdapat sebuah gapura agung yang berdiri tegak sebagai pintu gerbang kompleks makam. Sebelum memasuki gerbang itu, pengunjung dipersilakan memasuki sebuah ruangan untuk mengisi buku tamu dan memberikan dana sukarela, tanpa diharuskan membayar tiket masuk.
Memasuki makam Bung Karno, pengunjung harus melepas alas kaki. Ramai sekali peziarah yang datang hari ini. Saya lihat banyak orang duduk maupun berdiri di depan makam sambil memanjatkan doa, baik secara sendiri-sendiri atau secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang pimpinan rombongan. Banyak juga yang menabur bunga di atas pusara makam. Saya pun tadi telah membeli bunga yang banyak dijual di sekitar area makam maupun area parkir seharga 5000 rupiah untuk 3 pincuk kecil daun pisang yang berisi masing-masing sejumput bunga mawar dan kantil. Mengapa dijual 1 paket berisi 3 pincuk bunga? Karena makam Bung Karno memang berada satu cungkup (bangunan di atas makam) dengan kedua orang tuanya, yaitu di sebelah kanan adalah makam ayahnya (R. Soekeni Sosrodihardjo) dan sebelah kiri adalah makam ibunya (Ny. Ida Aju Njoman). Saya pun ikut-ikutan menaburkan bunga di atas ketiga pusara makam itu.
Sambil menabur bunga saya ceritakan tentang sepak terjang Bung Karno sebagai pahlawan proklamasi kepada anak-anak saya. Saya ingin melukiskan tokoh Bung Karno dalam memori anak-anak saya. Bukankah jasa seorang pahlawan sudah selayaknya dikenang dan perbuatannya yang baik patutlah diteladani? 
Kemudian saya ajak anak-anak saya berdoa di depan makam memohon pada Tuhan agar Sang Pahlawan Proklamasi ini diampuni dosanya dan mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan sesuai dengan amal ibadahnya. Tak lupa dalam hati saya mohon pada Tuhan agar anak-anak saya kelak bisa menjadi “orang-orang besar” seperti Bung Karno.
Hanya sebentar saja kami berada di kompleks makam ini. Setelah dirasa cukup, kami pun segera menuju pintu keluar. Jalan keluar dari kompleks makam ternyata sangat berliku. Pihak pengelola makam sengaja mendesain jalan keluar agar melalui deretan kios-kios suvenir maupun jajanan khas Blitar. Bagi yang ingin berbelanja suvenir, tentu hal ini sangat menyenangkan, tetapi bagi yang ingin cepat pulang dan keluar dari kompleks makam, hal ini terasa sangat mengganggu apalagi jalannya terasa sempit, sumpek, panas dan pengap tanpa pendingin ruangan. Semoga suatu saat pihak pengelola makam berkenan untuk membenahi kondisi ini, sehingga momen mengunjungi makam Bung Karno menjadi memori indah bagi para generasi penerus bangsa ini.